Minggu, 15 April 2012

Hipnotis

Bagaimana hukum hipnotis dalam perspektif fiqih?


Deskripsi Masalah
Sudah tidak asing lagi di mata masyarakat tayangan yang satu ini bahkan mulai dari anak-anak sampai orang tua pun sudah tahu. Di sebuah stasiun televisi (TV) ada sebuah tayangan acara yang berjudul Uya Memang Kuya. Dalam acara tersebut seseorang yang telah setuju untuk dihipnotis disuruh menatap bandul sebuah lingkaran, kertas yang dibakar dan lain sebagainya. Kemudian seketika itu matanya terpejam seperti orang yang tertidur. Dalam keadaan itu orang tadi dilontari berbagai macam pertanyaan baik yang berkaitan dengan pribadi maupun orang lain yang ia ketahui tanpa menyembunyikan suatu rahasia apapun. Anehnya ia akan menjawab pertanyaan dengan sejujur-jujurnya tanpa menghiraukan apakah yang dibicarakan ada di sampingnya atau tidak. Singkat kata, orang tersebut tunduk patuh terhadap perintah penghipnotis.


Proses hipnotis dalam Uya Memang Kuya di samping mendapat izin dari pihak yang dihipnotis juga sebelum tayang telah diperlihatkan dan disensor oleh yang dihipnotis sendiri mana yang ditayangkan dan tidak.

Pertanyaan
a. Bagaimana hukum hipnotis dalam perspektif fiqih?
Bagaimana hukum menyetujui untuk dihipnotis dan hukum merelakan apa yang terjadi untuk ditayangkan?
c. Bolehkah menggunakan sarana hipnotis untuk menguak sebuah kasus kriminal dan bagaimana konsekuensi hukumnya?
PP. AL-FITHRAH Kedinding Surabaya & Panitia

Jawaban
a. Hukum hipnotis dipilah sebagai berikut :
- Apabila menggunakan perantara yang dilegalkan syariat, seperti hipnotis modern yang mengakibatkan dampak seperti tidur, maka hukumnya diperbolehkan.
- Apabila menggunakan perantara cara-cara yang diharamkan seperti sihir, maka hukumnya haram.[1]

b. Hukum menyetujui untuk dihipnotis dan merelakan apa yang terjadi untuk ditayangkan adalah haram, apabila saat seseorang terhipnotis melakukan hal-hal yang diharamkan, seperti menceritakan kemaksiatan dan ifsya`ussirri (membuka rahasia) yang dipertontonkan sebagai hiburan.[2]
c. Boleh, dan hanya bisa digunakan untuk wasilah mencari bukti-bukti awal dalam penelusuran kasus. Bahkan menurut madzhab Maliki bisa digunakan untuk mencari qorinah yang mengantarkan kuatnya dugaan sebagai alat penetapan hukum.
Catatan:
Rumusan di atas adalah dalam pernyataan selain iqror. Sedangkan mengenaiiqror, sementara belum disepakati musyawirin.[3]

Hasil Keputusan Bahtsul Masa'il
FMPP XXII

FORUM MUSYAWARAH PONDOK PESANTREN

SE JAWA-MADURA

Di Pondok Pesantren Darussalam
Jajar, Sumbergayam, Durenan, Trenggalek, Jatim
Rabu-Kamis, 23-24 Maret 2011

__________________________
______________
[1] At-Tasyri’ al-Jina’i juz, 1 hal. 477
Hasyiyah al-Jamal Juz, 7 Hal. 6
Hasyiyah Syabromalisi ‘ala an-Nihayah, juz 6 hal. 441
Al-Mausu’ah al-‘Arobiyyah al-‘Alamiyyah hal. 5

[2] Al-Mantsur fi al-Qowa’id, juz 2 hal. 168
Al-Adzkar & Futuhat ar-Robbaniyah, Juz 7 Hal. 77-78
Faidlul Qodir, juz 5, hal. 16
Faidlul Qodir, juz 5, hal. 15
Ihya` al-‘Ulum ad-Din, juz 3, hal. 132
Mauidzoh al-Mu`minin, juz 1, hal. 293
Fath al-Bari, juz 11, hal. 80
Al-fatawa al-haditsiyyah, juz 1, hal. 103

[3] Bughiyyah al-Mustarsyidin, hal. 276-277
Ath-Thuruq al-Hukmiyyah, hal. 97-100
Thoro`iq al-Hukmi fi asy-Syari’ah, hal. 352
Ahkam as-Sulthoniyyah, hal. 219-220
Al-Fiqh al-Islamiy, juz 8, hal.6127-6128
Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, juz 4, hal. 95-96
Qurrotul ‘Ain, Juz 7 Hal. 317-318

Tidak ada komentar:

Posting Komentar